Ayutthaya dan Meditasi

“The quieter you become, the more you can hear”

Thailand, Desember 2014

Si Bapak itu meluangkan waktu yang tidak sebentar untuk menjawab pertanyaan dan menuliskan beberapa kata dalam huruf abjad pada selembar kertas sobek, petunjuk kemana saya harus pergi. Dalam keseharian, disini penduduk baca tulis menggunakan abjad thai / àksŏn thai ( อักษรไทย ). Menulis dalam huruf abjad merupakan hal yang tidak biasa bagi sebagian besar orang Thai, apalagi generasi tua seperti bapak ini.

Secarik catatan itu mengantar saya duduk di dalam sebuah bus kotak kuning, meninggalkan Khaosan road ke arah tenggara. Ciri khas dari bus di Bangkok selain bentuknya yang terkesan klasik, adalah kondektur bus  kebanyakan ibu – ibu paruh baya. Bus melaju membelah kota, dimana-mana terpampang foto Yang Mulia Raja Bhumibol Adulyadej, disertai tulisan “Long Life King” lengkap dengan rangkaian bunga kuning terkalung di bingkainya.

Samut Prakan terletak di tenggara Bagkok. Dipinggiran kota ini, Krati tinggal disebuah studio. Dia menampung saya disini beberapa hari kedepan. Bahasa Inggris Krati terdengar jelas, tidak seperti orang Thailand pada umumnya yang berbicara dengan unsur nada lagu. Esok kami akan mengunjungi Kota kelahirannya di utara Bangkok, Ayutthaya.

Kuil-kuil Buddha di Ayutthaya berumur ratusan tahun. Krati bilang ada semacam positif energy yang dapat dirasakan di sana. Ucapannya membawa ingatan saya ke Ubud, Bali. Jika kamu ke Ubud, pergilah menjelajah desa-desa, menjauh dari pusat aktivitas pariwisata. Disana akan kamu temukan Ubud yang sebenarya. Konon Ubud adalah titik temu persilangan energi alam semesta, pusat dunia. Banyak orang percaya bahwa kita semua terhubung sebagai satu kesatuan dalam semesta ini. Dalam alam semesta, mengalir 2 arus energi besar : arus energi alam dan arus energi mahluk hidup. Arus energi alam bersumber dari nature seperti air, udara, hutan, gunung dsb. Arus energi mahluk hidup bersumber dari organisme seperti manusia dan hewan. Kedua arus bertemu bersilangan di Ubud, hal yang membuat Ubud begitu istimewa bagi para traveler yang mengejar “spiritual experience” dalam list mereka.

Wat Phra Si Sanphet

Wat Phra Si Sanphet

Kerajaan Ayutthaya merupakan kepingan penting sejarah Thailand. Ayutthaya pernah menjadi nama lain Negara Thailand sekaligus Ibukota Negara. Nama Thailand sendiri dalam bahasa Thai adalah Prathet Thai, yang berarti “free land”. Thailand adalah satu-satunya negara di Asia Tenggara yang tidak pernah dijajah.

    Wat Phanan Choeng

Ayutthaya merupakan kerajaan penganut Buddha aliran Theravada. Hingga kini, 94% penduduk Thailand merupakan penganut Buddha. Hal ini juga tercermin dari warna bendera nasional Thailand. Ada dua garis horisontal putih yang mewakili kemurnian agama Buddha, agama utama bangsa. Ayutthaya seperti halnya Thailand adalah rumah bagi kuil-kuil Buddha emas. Kuil termegah di Ayutthaya yakni  Wat Phanan Choeng, kuil asli kerajaan. Kuil yang memiliki patung raksasa Buddha berlapis emas setinggi 16 meter diapit ornamen indah disetiap dinding. Saya tidak mengerti tentang konsep ini, Siddartha Gautama sendiri sangat menjunjung tinggi simplicity dalam penerapan ajarannya, sedangkan emas – emas raksasa ini terkesan terlampau mewah menurut saya. Krati bilang, Buddha Image berlapis emas merupakan suatu wujud pengormatan tinggi kepada sang Buddha.

Wat Na Phra Men yang terletak di seberang sungai menjadi pilihan Krati untuk bermeditasi siang itu, Krati sudah melakukan praktek meditasi sejak ia remaja, hingga tumbuh di Kota ini. Kuil bersejarah yang dikenal dengan Buddha Image mengenakan pakaian kerajaan. Kuil ini memang tidak terlalu besar, tapi atmosfirnya lebih tenang dibandingkan dengan kuil – kuil megah lain di Ayutthaya. Meditasi merupakan praktek Buddhisme kuno yang terus ada sampai sekarang, namun meditasi bukan melulu soal agama, meditasi itu luas, universal.

Wat Phra Mahathat

Wat Mahathat

Saya sempat berencana mengikuti retreat meditasi Vipassana di Chiang Mai. Niat itu saya batalkan, berdasarkan pengalaman seorang teman dari Brazil yang pernah mengikuti retreat tersebut. Dari pengalamanya, dapat disimpulkan retreat meditasi Vipassana bukanlah untuk pemula seperti saya yang pada waktu itu baru beberapa kali mencoba meditasi. Peserta harus bangun jam 4 pagi, makan sekali dalam satu hari, meditasi dan meditasi lagi, dan tidak boleh berbicara selama retreat berlangsung. Peserta datang sukarela tanpa dipungut biaya, dan bebas mengikuti retreat tanpa batasan waktu. Akan menjadi pengalaman tersendiri pastinya, namun saya merasa belum siap.

Kebisuan dalam retreat meditasi Vipassana ( meditasi jalan tengah ), mengigatkan pada kebisuan serupa dalam retreat Ignasian dalam agama Katholik. Selama empat minggu dalam kebisuan peserta menjalani meditasi terpimpin mengenai hidup Kristus. Latihan rohani yang membantu mereka memahami panggilan atau pesan Tuhan melalui meditasi. Inovasi mistisisme kontemplatif ini bisa digunakan sebagai sarana membangun kembali kehidupan rohani Gereja. Nama “Ignasian” sendiri diambil dari nama penciptanya : Ignatius Loyola. Tokoh besar pendiri Serikat Yesus ( Societas Jesu ) atau biasa deikenal dengan Yesuit, adalah sebuah ordo monastik dari Gereja Katolik Roma. Kamu pasti tau Paus Fransiskus, Paus terpilih sejak tahun 2013 yang pemikirannya “lain” dari Paus-Paus sebelumnya. Beliau tercatat sebagai satu-satunya Kardinal dari ordo Yesuit yang pernah menempati posisi tertinggi dalam gereja Katholik. Paus favorit saya sejauh ini.

Saya bukan Buddhist, bukan juga seorang Catholic, bukan tentang agamaTentang meditasi yang menarik bagi saya adalah bagaimana kita melihat, mengenal lebih kedalam diri sendiri. Dalam keseharian, berapa persen waktu yang kita ambil untuk menjadi diri kita?. Kita bekerja menjadi orang lain, bersosial dengan orang lain, menghabiskan hari dengan orang yang kita cintai seolah waktu selalu milik bersama, dan abad ini banyak orang yang terlalu berlebihan dengan sosial media, menghabiskan banyak waktu untuk hidup di moment orang lain. Hal kecil seperti mengambil waktu bagi diri sendiri seringkali tidak kita sadari. Apapun bentuknya, jika suka musik, bermusiklah untuk diri sendiri, menarilah untuk diri sendiri, melukislah untuk diri sendiri, menulislah untuk diri sendiri, berbahagialah untuk diri sendiri. Bukankah seharusnya kita sendiri yang paling memahami diri kita? sudah cukupkah waktu untuk memahami dan menghidupi diri? Atau kita hanya hidup dikehidupan orang lain?. Menilik kedalam, meditasi membantu saya untuk berusaha mengenal diri sendiri dalam prosesnya. Hingga saat ini ada banyak jenis meditasi terapan. Secara garis besar berdasarkan caranya, meditasi formal dapat dibagi menjadi dua jenis.

Jenis meditasi pertama adalah pemusatan pikiran pada satu titik, biasanya pada nafas. Perhatikan nafas, merasakan tiap udara yang masuk dan keluar menyusup ke dalam tiap sel kita. Menghitung nafas juga merupakan latihan dasar untuk pemusatan pikiran. Kondisi batin selalu menghadapkan kita dengan fenomena yang tidak hentinya bergerak, hasil pemikiran otak kita sebagai manusia normal. Disini kita akan amati bagaimana begitu sulitnya diri kita untuk tertuju kepada satu titik, karena fenomena, pikiran terus bergerak.

Jenis meditasi kedua adalah bagaimana menerima fenomena hasil segala pemikiran dan membiarkannya berlalu apa adanya tanpa menghakimi. Dalam bukunya “Wherever You Go, There You Are”, Jhon Kabat Zinn dalam meditasi menekankan tentang bagaimana kita berlatih berfikir “ya beginilah”. Banyak orang beranggapan dengan meditasi, hidup mereka akan tenang dan terhindar dari segala konflik hidup, stress yang dihadapi. Meditasi dijadikan suatu pelarian dari dunia nyata mereka. Pada prakteknya, meditasi justru akan menghadapkan kita pada segala konflik itu secara langsung. Dalam kesunyian itu, hanya ada kita dan konflik hidup kita, fenomena yang terus bergerak di pikiran. Disini meditasi akan melatih untuk bagaimana menyikapi segala konflik batin, menerima apa adanya tanpa menghakimi dan membiarkannya berlalu. Dimanapun kita berada, ya disinilah, ya beginilah.

Hari itu matahari dengan biasan panas sinarnya menyengat memayungi saya dan Krati, terus berjalan menapaki tiap sudut reruntuhan, saksi mati sebuah sisa peradaban. Ayutthaya memberikan gambaran tentang kemegahan masa lalu Kota ini, beserta keindahan arsitekturnya. Dan kuil Budhha disana, mengajarkan berbagai makna tentang sebuah kesunyian.

Tulisan ini dimuat di Online Travel Magazine Phinemo, Edisi 2 September 2016

Link : http://story.phinemo.com/sebuah-ketenangan-di-ayutthaya/

2 responses to “Ayutthaya dan Meditasi

Leave a comment