Gerimis Hujan Santiago

“ To learn to trust the journey even when we don’t understand it “

Spanyol, Agustus 2019

Awan berwajah kelabu tak enggan pergi, serpihan gerimis berjatuhan tanpa irama, tanpa henti sejak pagi tadi. Berjalan memasuki gerbang Kota, wajah para pilgrim terlihat bersinar. Energi mereka menggantikan hangat cahaya matahari yang hilang bersembunyi dibalik langit muram Galicia. Riuh, haru luapan perasaan hati mereka terwujud dalam berbagai cara. Tatapan sayu, senyum, tawa, tarian, lompatan hingga tangisan. Santiago, Kota tua ini menjadi titik akhir el camino, sebuah perjalanan panjang bagi para pilgrim. Berjarak kurang lebih 800km dari Pyrenne Prancis, terhitung 40 malam kulewati sejak titik awal aku berjalan.

Di depan Santiago de Compostela, aku duduk bersandar pada pilar bebatuan tua, mencoba memahami isi batin ini. Setiap makna, setiap jiwa, setiap kisah tersimpan dalam memori yang kucoba untuk kugenggam erat. Kulinting tembakauku dalam balutan kertas mungil, asapnya beterbangan menembus tusukan gerimis hujan.

Sempat terlintas pertanyaan, apakah benar Saint James/Santo Yakobus dimakamkan di dalam sana?. Aku mencoba untuk tidak begitu perduli tentang hal itu.  Sepertinya aku terlanjur pesimis jika berbicara tentang sejarah agama. Terlalu sulit memang menyelaraskan nada akal pikiran kita dengan isi hati agar terdengar harmonis. Seperti kata Eckhart Tolle, “the most vital thing in spiritual life is to be able to watch your mind, so that the mind is not controlling you”.

Ah sudahlah, faith. Aku bahagia dan mungkin sedikit iri dengan mereka yang percaya. Bagiku Santiago de Compostela bukanlah tujuan ataupun  titik akhir perjalanan ini. For me it’s not about a journey to Saint James Thom, it’s about a journey to myself.

For Ewa, who give me warm shelter under the cold rainy Santiago. Thank you for teach me how to love this old town as u did. Hope to hear tune of your violin again, somewhere..

Leave a comment